Desak Anies vs Bagi-Bagi Susu

Gaya kampanye Desak Anies sangat revolusioner. Membuka ruang diskusi dengan masyarakat dari berbagai kalangan adalah tindakan Anies Baswedan yang sangat layak diapresiasi.

Belum lagi acara live streaming di medsos yang membuka ruang keterbukaan bagi siapapun yang ingin bertanya langsung kepada sang Capres.

Saya menilai gaya kampanye dua arah seperti ini adalah sebuah terobosan yang dapat mencerdaskan dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap esensi demokrasi dan kebebasan berpendapat.

Sayangnya, saya masih belum yakin apakah gaya kampanye tersebut akan efektif bagi semua kalangan. Terutama bagi masyarakat yang lebih senang diberi uang daripada diberi ilmu. Lebih senang diajak makan siang gratis daripada diajak ngobrol.

Anies tidak menganut gaya kampanye money politic, seperti bagi2 duit, bagi2 sembako, bagi2 kaos, ataupun bagi2 susu.

Namun tidak dipungkiri, banyak masyarakat yang lebih menyukai gaya kampanye money politic. Sebab manfaat instan bisa langsung mereka rasakan, daripada kampanye style diskusi yang dianggap hanya sekedar kata-kata. Omon-omon-omon.

Menyedihkan, tapi begitulah kenyataannya, bahwa masyarakat Indonesia kebanyakan sangat materialistis, dan juga bermental tangan di bawah.

Mental ini sepertinya sudah terbentuk sejak lama. Dan hal ini tidak terlepas dari sejarah bangsa Indonesia.

Umur demokrasi di Indonesia masih 79 tahun. Jika dibandingkan dengan masa kolonialisme yang berlangsung ratusan tahun dan masa kerajaan yang berusia ribuan tahun, usia demokrasi di Indonesia masih seperti bayi yang baru lahir.

Sistem demokrasi hadir dengan kaidah utama “Suara rakyat adalah suara tuhan”. Betapa tinggi demokrasi menempatkan posisi rakyat dalam sebuah negara. Namun sayangnya, rakyat Indonesia belum terbiasa menjadi “tuhan”. Sebagaimana bayi yang baru lahir, kita masih harus belajar menjadi “tuhan”.

Kebanyakan masyarakat Indonesia masih terbiasa memposisikan dirinya sebagai rakyat jelata dan hamba sahaya bagi pemerintah. Menganggap bahwa rakyatlah yang wajib melayani pejabat2 negara. Bila ingin dibantu, mereka harus mengemis2 kepada penguasa. Bila pejabat negara memberi bantuan, itu karena kebaikan hati pejabat tersebut, bukan hak yang selayaknya mereka miliki.

Kemiskinan materi dan kemiskinan mental di masyarakat Indonesia sepertinya terus dipelihara, agar masyarakat terkaburkan posisinya sebagai “tuhan”, sementara pejabat negara bisa terus menjadi “raja”.

Sayangnya, situasi ini berlanjut ke generasi berikutnya. Pendidikan kepada anak2 muda rupanya belum cukup menyingkirkan mental “tangan di bawah”.

Sebab rupanya, banyak kalangan gen Z dan milennial yang lebih senang berleha2 dan bersantai daripada bekerja.

Cobalah ditanya, kalau disuruh memilih antara dikasih pekerjaan atau dikasih bantuan cuma-cuma tanpa harus bekerja, saya rasa masih lebih banyak orang yang akan memilih bantuan cuma-cuma daripada bekerja.

Kaidah yang menyatakan “lebih baik diberi kail daripada diberi ikan” sepertinya tidak berlaku di Indonesia. Sebab lebih banyak yang senang bila diberi ikan yang bisa langsung mereka santap pada hari itu. Walaupun besok dia harus meminta ikan lagi.

Terbukti di jaman sekarang, bukan hanya mencari lowongan kerja yang susah, tapi mencari orang yang mau bekerja juga tidak kalah susahnya.

Sebagian anak muda lebih suka menjadi pengemis atau profesi instan money lainnya daripada harus capek-capek berusaha, belajar, dan mengembangkan skill.

Tulisan ini bukan bermaksud untuk menyalahkan gaya kampanye yang diterapkan oleh Anies, saya mengapresiasi upaya beliau dalam membuat perubahan di masyarakat sejak dari masa kampanye. 

Dalam penilaian saya, dibanding 2 calon lainnya, beliaulah putra bangsa yang paling kompeten untuk menduduki posisi puncak pemerintahan. Beliau pula yang paling siap memimpin 200 juta lebih rakyat Indonesia. 

Hanya saja, saya belum yakin apakah rakyat Indonesia sudah siap dipimpin oleh beliau atau tidak.

Namun semoga saja dugaan saya salah, semoga rakyat Indonesia sudah lebih cerdas menggunakan “suara tuhannya” di pilpres kali ini.

Peradaban Manusia yang Berputar-putar

Sepertinya… perkembangan inovasi dan peradaban manusia bukanlah bergerak maju, melainkan bergulir berputar-putar.

Jaman dulu, manusia kemana-mana berjalan kaki, lalu dibuatlah sepeda, lalu dibuatlah kendaraan bermotor.

Akhirnya, karena sudah keseringan naik kendaraan bermotor, dipaksalah manusia untuk kembali berjalan kaki.

Bahkan dibuatlah alat canggih yang disebut treadmill agar manusia mau berjalan kaki dengan cara yang inovatif.
.
Jaman dulu, manusia mengemas barangnya dengan kain atau kertas.

Tapi kemudian hal itu dinilai tidak ramah lingkungan karena membutuhkan terlalu banyak material yang berasal dari alam.

Maka dibuatlah inovasi kemasan dari bahan hasil sintetis, yaitu plastik.

Tapi kemudian plastik dinilai tidak ramah lingkungan karena sulit diuraikan di alam, maka dibuatlah gerakan untuk menggunakan kemasan kain atau kertas.
.
Jaman dulu, manusia bercocok tanam begitu saja di lahannya. Tapi karena tanamannya banyak diganggu hama maka dibuatlah inovasi pestisida.

Tapi ternyata pestisida mengandung racun yang buruk bagi kesehatan. Maka akhirnya dibuatlah teknik bercocok tanam secara organik yang tanpa pestisida.
.
Jaman dulu manusia berkomunikasi jarak jauh dengan berkirim surat.

Tapi karena informasi dari surat seringkali telat tersampaikan dan menjadi berita basi, maka dibuatlah telegram yang bisa mengirim informasi lebih cepat.

Lalu manusia ingin bertukar info lebih cepat lagi, menjadi realtime, maka dibuatlah telepon berkabel.

Tapi telepon berkabel hanya bisa dipakai di ruangan tertentu, maka dibuatlah handphone yang bisa dibawa kemana-mana.

Kemudian inovasi handphone terus berkembang. Bukan hanya berbagi informasi via suara dan teks tetapi juga bertukar gambar dan video.

Pertukaran informasi kemudian menjadi semakin realtime dengan kehadiran internet yang bisa diakses dari telepon genggam.

Akhirnya telepon genggam yang bertransformasi menjadi telepon genggam yang pintar alias smartphone.

Mendapatkan informasi kini menjadi semakin mudah. Tapi akibatnya manusia menjadi kebanjiran informasi dan notifikasi. Dunia bahkan dipenuhi oleh info2 dan notif2 yang kebanyakan tidak penting.

Kemudian, ketika manusia menjadi kecanduan gadget dan informasi, muncullah berbagai gerakan/inovasi yang membatasi penggunaan smartphone.

Beberapa kalangan memilih menggunakan kembali ponsel jadul yang cuma bisa telpon dan SMS an. Agar tidak terganggu oleh info2 yg tidak penting.
.
Berkaca dari itu semua, kita bisa menilai bahwa sebenarnya perkembangan peradaban manusia tidak selalunya bergerak maju, melainkan berputar-putar.

Sejauh-jauhnya perkembangan inovasi, manusia ingin selalu kembali kepada hal2 yang alamiah.

Semakin kita bergerak lebih maju, semakin butuh pula kita untuk kembali.

Mungkin saja, bergerak ke depan terus menerus bukanlah hal yang bijaksana. Kita butuh berbalik ke belakang, sekali, dua kali, atau berkali2.

Bahkan saat sudah terlalu jauh ke depan, mungkin kita harus kembali ke masa lalu. Guna mengingat kembali asal mula kita dan menerapkan hal2 baik yang sudah lama kita tinggalkan.

Berpikir Secara Islami

Agama Islam bukan sebatas shalat, puasa, zakat, dan haji. Bukan sebatas ritual ibadah melainkan juga gaya hidup dan pola pikir.

Islam bukan sebatas label. Hanya karena diberi label “religi”, “syar’i”, “sunnah”, “islami” tidak serta merta sesuai syariat bila esensinya tidak sesuai atau malah bertentangan dengan Islam.

Syukurnya, Islam itu berupa esensi dan nilai. Jadi ia bisa diartikan secara global. Dan bisa dipadukan dengan kultur dan budaya masing2.

Islam bisa diaplikasikan ke semua ras, agama, suku, bangsa, dan bahasa.

Tidak semua lifestyle pola pikir dari barat itu salah, atau kearifan lokal suatu daerah itu tidak benar.

Selama budaya, gaya hidup, dan pola pikir yang dibawanya tidak bertentangan dengan nilai2 Islam, silahkan diambil. Tapi kalau bertentangan dengan nilai Islam, tinggalkan.

Orang2 yang hidup di lingkungan agamis, pesantren misalnya, biasanya membatasi atau bahkan melarang bacaan2 tertentu, terutama yang berhubungan dengan filosofis.

Sebenarnya bukan tanpa alasan, tujuannya agar anak2 binaannya tidak terpengaruh pemikiran2 yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Apalagi bila basic pemahaman Islamnya masih minim. Agama Islam masih dianggap sebagai ritual semata. Ibadah hanya dikerjakan oleh tubuh, bacaan Al-Qur’an dan dzikir baru sampai ke lidah dan tenggorokan.

Ibadah yang dijalani hanya sebatas kebiasaan, seperti halnya kebiasaan mandi setiap hari dan tidur setiap malam.

Sementara nilai2 dan esensi Islam belum tertanam di hati dan diakui sebagai nilai2 yang luhur.

Akibatnya, orang2 ini ketika berinteraksi dengan “dunia luar”, bisa jadi menemukan prinsip hidup dari buku bacaan, tontonan, atau circle pergaulannya.

Betapa banyak orang yang kita temui sebelumnya aktif dalam kegiatan keagamaan, lalu kemudian mengenal pergaulan bebas dan mengaku menemukan nilai yg dia cari selama ini.

Masih segar di ingatan kita kasus Rina Nose, yang sebelumnya berhijab, kemudian menanggalkan hijabnya setelah melihat orang2 Jepang yang tetap bisa hidup sejahtera walau menjadi atheis.

Karena memang benar, orang yang mengaku hidup tanpa agama pun bisa saja mendapatkan kesuksesan di dunia.

Kemudian belakangan ini marak pendapat childfree dari Gita Savitri, seorang influencer yang bisa jadi menemukan banyak prinsip hidup setelah merantau ke tanah Eropa.

Saya tidak salahkan Jepang atau Eropanya, karena banyak juga orang yang justru menjadi semakin dekat dengan ajaran Islam setelah merantau ke tempat2 tersebut.

Yang ingin saya garisbawahi di sini adalah bahwa Rina Nose dan Gitasav ini adalah orang2 yang cerdas dan berpendidikan.

Namun, kecerdasan tidak selalu berbanding lurus dengan keimanan. Saya tidak mengatakan mereka sudah tidak beriman pada Islam. Hanya saja, pendapat2 yg mereka kemukakan, bahkan keputusan yang mereka ambil, bertentangan dengan ajaran Islam.

Tentunya ada banyak orang selain mereka yg bersikap serupa. Beragama Islam tapi menganut paham yang bertentangan dengan Islam.

Inilah yang termasuk ghazwul fikri. Perang pemikiran. Di mana paham2 yang bertentangan dengan ajaran Islam merasuki pikiran orang2 yang cerdas.

Mereka yang menerapkan free s*x, memilih childfree, membela lagibete, atau bahkan memutuskan menjadi trans, itu kebanyakan adalah orang2 yang cerdas dan berpendidikan.

Mereka memiliki 1001 argumen yang mendukung paham2 yang mereka anut tersebut. Bahkan banyak dari mereka yang berwibawa dan memiliki pengaruh di masyarakat.

Dengan tipu daya setan, hal2 yang jelas2 maksiat dan bertentangan dengan fitrah manusia dipoles sedemikian rupa sehingga menjadi hal2 yang make sense, bahkan bisa menyentuh sisi emosional.

Maka tipu daya itu akan berjaya bila kemaksiatan akhirnya dianggap sebagai hal yang biasa bahkan diterima sebagai gaya hidup yang harus dihormati keberadaannya. Na’udzubillah min dzalik.

Padahal semua itu adalah kebodohan (kejahiliyahan) yang dikemas dalam istilah2 dan terma2 yang ciamik sehingga dianggap sebagai kecerdasan.

Beruntunglah orang2 yang bodoh lalu tercerdaskan oleh Islam. Daripada orang2 yang mengaku cerdas tapi terbodohkan oleh paham2 yang jahil (bodoh).

Muhammad s.a.w mendapatkan wahyu pertama dalam keadaan buta huruf, beliau bukanlah seorang cendekia. Lalu ajaran Islam lah yang mencerdaskannya.

Menanamkan nilai2 luhur ke dalam dadanya. Menjadikannya seseorang yang beradab, bermartabat, dan berpengaruh pada banyak orang.

Tak apalah merasa jadi orang yg tidak tahu apa2, bila dengan begitu memudahkan kita menerima pengetahuan yang datangnya dari Islam.

Seperti bayi yang tidak tahu apa2 kemudian menerima Islam sebagai ilmu pengetahuan untuk menjalani hidup.

Daripada menjadi orang cerdas, tapi menggunakan akal pikirannya untuk menolak kebenaran yang dibawa oleh Islam, bahkan mengabaikan fitrah manusia, hingga kehilangan hati nurani.

Wallahu a’lam…

The Banshee of Inisherin (2022) – Memutuskan Hubungan Persahabatan

Film ini membuat saya menyadari bahwa memutuskan hubungan persahabatan ternyata jauh lebih sulit daripada memutuskan hubungan percintaan.

Apalagi bila kita berada di lingkungan yang sempit dan bertemu setiap hari dengan orang yang ingin kita putuskan hubungan dengannya.

Film berlatar Irlandia tahun 1800an ini bercerita tentang dua orang lelaki. Seorang bujang lapuk usia sekitar 40 tahun bernama Padraic (Colin Farrell) dan seorang pria tua usia sekitar 60-70 tahun bernama Colm (Brendan Gleeson).

Mereka hidup di sebuah desa kecil yang bernama Banshee dan menjalani kehidupan yang sederhana.

Suatu ketika, Colm memutuskan untuk tidak ingin berteman lagi dengan Farrell. Dan proses pemutusan hubungan itu menjadi proses yang sangat rumit dan berdarah-darah.

Seperti yang saya sebut di awal, memutuskan hubungan persahabatan bukanlah perkara yang mudah apalagi bila berada di lingkungan yang sempit.

(Saya pikir, hal ini tidak jauh berbeda dengan jaman sekarang. Walaupun kita berada di lingkungan yang luas tetapi internet menjadikan dunia semakin sempit. Akibatnya, memutuskan hubungan menjadi perkara yang jauh lebih sulit daripada sebelumnya. Am I right?)

Upaya Colm dalam memutuskan hubungan dengan Padraic dan bagaimana Padraic berusaha menjalin kembali hubungan tersebut yang menjadi konflik utama dalam film ini.

Premis yang cukup sederhana tapi delivery-nya sangat menarik dan dibawakan oleh aktor-aktris yang aktingnya jempolan.

Ditambah suguhan pemandangan pedesaan Irlandia yang indah dan alunan musik khas Brittania. Menjadikan film ini benar-benar sesuatu yang istimewa.

Ohya, Banshee of Inisherin berhasil masuk nominasi Academy Award tahun 2023 untuk kategori Best Picture dan kategori Best Actor in the Leading Role. Semoga menang ya 

Buat yang penasaran, arti The Banshee of Inisherin dijelaskan di dalam film yaitu hantu wanita tua di desa Inisherin. Ini juga menjadi judul lagu gubahan Colm. Meskipun ada sosok wanita tua di film ini tapi ceritanya tidak berfokus ke sana.

Tayang di Disney+ Hotstar, Rating 21+

Klonteng Klontang

Klonteng… klontang…
Tiada mentari sebelum kita pulang
Perut meradang pertanda senang

Hingar bingar menjelang petang
Gerombolan berbondong datang
Menyesakkan barang-barang
Tapi tak sudi memberi peluang
Atau bahkan sekedar ruang

Kita selalu bilang ini nasib para pedagang
Mengundi harapan yang tak pernah datang
Membawa palung yang tak kunjung terisi uang

Hanya pilu yang tak kunjung sembuh
Berjuang raga yang hanya separuh
Mengusap wajah yang bersimbah peluh
Lalu apa yang bisa aku katakan pada anak yang bersepuluh?
Malam ini hanya teh basi yang bisa kita seduh?

Klonteng… klontang…
Tiada mentari sebelum kita pulang
Perut meradang pertanda senang

Lebih baik merana dalam juang
Daripada malu saat pulang


– Suatu malam di commuterline, Jakarta 2022 –

Selingan dan Kebiasaan

Hati-hati dalam memilih selingan.

Adalah wajar bila kita penat dan bosan dengan aktivitas sehari-hari yang itu-itu saja. Berulang-ulang dalam ritme yang sama selama bertahun-tahun.

Di sela-sela aktivitas monoton itu tentu saja kita membutuhkan selingan. Kegiatan yang membuat kita bisa berhenti sejenak dan beristirahat.

Selingan atau break time bukan berarti tidak ngapa-ngapain. Waktu ini biasanya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang kita sukai (hobi). Karena pada kenyataannya otak manusia tidak pernah beristirahat, ia hanya butuh pergantian aktivitas.

Tujuannya agar kondisi tubuh dan pikiran menjadi fresh kembali. Bahkan ada yang bilang, hobi atau selingan bermanfaat untuk “menjaga kewarasan” karena tanpa selingan seseorang bisa menjadi stres atau depresi.

Namun, dalam memilih selingan inilah yang sepertinya kita perlu berhati-hati. Jangan sampai selingan kita adalah hal-hal yang isinya kemaksiatan.

Ini yang perlu benar-benar diwaspadai. Ada banyak aktivitas yang awalnya hanya berupa selingan, lama-lama menjadi kebiasaan. Seperti halnya ketaatan, maksiat juga bisa dibiasakan.

Yang sudah terbiasa merokok pada akhirnya merasa tidak nyaman kalau sehabis makan tidak merokok. Yang terbiasa minum miras akhirnya merasa kurang lengkap kalau tidak minum miras saat bersantai atau berpesta. Yang terbiasa menonton video b*kep akhirnya tidak bergairah lagi bila tidak menonton itu dulu sebelum berhubungan dengan pasangannya.

Apakah tidak ada manfaat yang diperoleh dari selingan yang bersifat maksiat itu? Tentu saja ada. Rasa nyaman hingga rasa senang.

Namun Islam sudah menjelaskan bahwa kesenangan yang diperoleh dari kemaksiatan adalah kesenangan yang semu. Kesenangan semacam itu bisa melenakan bahkan menjerumuskan pada dosa-dosa besar. Naudzubillah min dzalik.

Kalau selingan-selingan yang bersifat maksiat itu sudah menjadi kebiasaan maka untuk menghentikannya tentu saja butuh effort yang berat. Karena pada level tertentu, kebiasaan2 itu sudah berubah sifat menjadi kecanduan.

Jadi polanya akan seperti ini. Awalnya selingan, menjadi kebiasaan, lalu menjadi kecanduan.

Maka dari itu, sedari awal, penting untuk memilih selingan yang baik. Agar tidak terjerumus pada selingan-selingan yang buruk.

Selingan yang paling baik tentu saja yang mengandung nilai-nilai ibadah kepada Allah. Misalnya tadarrus Al-Qur’an, berdzikir, dan sebagainya.

Atau ibadah yang mendatangkan kebaikan kepada sesama manusia seperti bakti sosial, mengurus anak yatim, bersedekah, ceramah, dan lain sebagainya.

Ada orang2 yang sudah mencapai maqam di mana bagi mereka ibadah telah menjadi hobi yang menyenangkan untuk dikerjakan.

Bukan lagi berupa beban atau sebatas menuntaskan kewajiban, melainkan menjadi kegiataan yang dinanti-nanti.

Namun diakui bahwa tidak semua orang sudah mencapai maqam itu. Jangan berkecil hati, tetaplah beribadah sesuai kemampuan.

Tidak mengapa kalau masih dalam tahap sekedar menuntaskan kewajiban yang penting kita tetap konsisten menjalaninya.

Sementara itu, selingan bisa diisi dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya mubah, seperti membaca novel, menonton TV, berkebun, jalan-jalan, dan sebagainya.

Kegiatan-kegiatan mubah pada dasarnya baik selama tidak berlebihan dan tidak melampaui batas.

Misalnya menonton drakor janganlah sampai ngehalu, sampai terobsesi mau punya pasangan yang seperti itu, atau ngefans berat sama aktornya. (Urusan ini jadi self reminder banget buat diri saya 🤧).

Intinya, drakor, serial-serial, dan bahan bacaaan itu cukup dijadikan sebagai hiburan saja bukan pegangan hidup.

Quote-quote yang terselip di dalamnya cukup sampai di level enak dibaca, lucu, atau mungkin relate dengan kehidupan sehari-hari.

Tetapi tidak perlu membawanya sampai pada level yang mempengaruhi filosofi hidup. Apalagi bila quote-quote itu bertentangan dengan nash-nash dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist. (Lagi2 nampar diri sendiri 🤧)

Lalu, kalau selingan yang mubah itu dirasa sudah berlebihan, ada baiknya untuk menurunkan intensitasnya atau berhenti sama sekali.

Lagi-lagi tujuannya agar tidak terlena, tidak kecanduan, dan tidak terjerumus pada maksiat. Jangan tunda untuk berhenti, lalu hijrah.

Pada kenyataannya, hijrah tidak dikerjakan sekali dalam seumur hidup. Sebab akan selalu ada momen-momen tertentu dalam hidup di mana kita butuh hijrah alias move on.

Bukan hanya hijrah dari kemaksiatan menuju ketaatan, tetapi juga hijrah dari kebiasaan-kebiasaan buruk menuju kebiasaan-kebiasaan baik. Mengurangi kadar kebiasaan2 buruk dan meningkatkan kadar kebiasaan2 baik.

Mengutip nasehat Ustadz Khalid Basalamah: energi yang dikerahkan untuk berbuat maksiat sebenarnya sama saja dengan energi yang dikerahkan untuk berbuat ketaatan.

Jadi kita perlu memilih, jika ingin taat, kita harus meninggalkan maksiat. Agar terbiasa berbuat baik kita harus terbiasa meninggalkan perbuatan buruk.

Allah memberikan kebebasan kepada hamba-Nya untuk memilih. Oleh sebab itu, hidup ini akan selalu berisi pilihan-pilihan. Kita ingin memilih selingan apa, kebiasaan apa, bahkan memilih terobsesi atau kecanduan dalam hal apa.

Ada yang bilang bahwa agama itu candu. Ya memang benar, tapi tentu saja candu beragama itu jauh lebih baik daripada candu bermaksiat.

Wallau a’lam bishshawwab

# Self Reminder
Jum’at Mubarak

Rumah di Tengah Sawah

Sore ini saya teringat almarhum Bapak dan kenangan masa kecil bersamanya saat tinggal di sebuah rumah di tengah sawah.

Ingatan itu seketika muncul saat saya menonton video klip yang menampilkan seorang petani yang duduk di pematang sawah kala senja hari sambil memegang lentera minyak.

Saya masih ingat, saat listrik belum dialirkan ke rumah kami, kami memakai lentera itu sebagai penerangan di malam hari. Lentera yang kami sebut “lampu kodok-kodok”

Rumah kami tepat berdiri di antara hamparan sawah. Kalau kalian masih ingat iklan RCTI Oke tahun 90an yang menampilkan rumah yang tepat di tengah sawah. Nah seperti itulah posisi rumah kami waktu itu.

Saya cukup bangga karena rumah di tengah sawah yang seperti itu menjadi perwajahan kearifan lokal dan ditampilkan oleh stasiun televisi paling bergengsi di masa itu.

Rumah di tengah sawah itu selalu menyisakan kenangan suka dukanya tersendiri.

Saya ingat di malam-malam penayangan serial Superboy saya harus melintasi pematang sawah yang becek di malam hari untuk pergi ke rumah tetangga yang punya televisi untuk menonton serial itu.

Pernah suatu malam saya terpeleset di pematang yang becek itu dan paha saya tergores kawat berduri hingga membuat luka gores yang cukup panjang di sana.

Setelah malam itu, Bapak lalu membelikan kami TV 14 inchi yang sudah berwarna merek Polytron. Jadi kami tidak harus ke rumah tetangga lagi.

Di masa-masa itu, setiap malam adalah malam yang romantis dan magis.

Kamar saya bersama adik perempuan kesayangan memiliki jendela yang lebar. Membuat saya bisa menatap langit malam dengan leluasa.

Saya selalu menatap langit itu sebelum tidur, memperhatikan bintang-bintang dan berkas-berkas awan halus yang masih terlihat di langit yang gelap, juga bulan kalau beruntung.

Setiap menatap langit itu, pikiran saya akan mengembara tentang penciptaan alam semesta, juga tentang apa yang ada dan terjadi di atas sana.

Pemikiran yang belakangan saya sadari ternyata cukup rumit untuk ukuran anak umur 9 tahunan.

Tak hanya malamnya, suasana siang hari di rumah itu juga tidak kalah berkesan.

Sawah-sawah yang hijau menghampar memang memberikan hawa yang panas tetapi karena disertai angin yang berhembus membuatnya terasa menyenangkan.

Angin itu bertiup menerpa wajah dan rambut kami saat berdiri di pinggiran dego-dego rumah sambil menjulurkan kepala. Angin itu juga yang membawa nyanyian-nyanyian yang kami teriakkan.

Saya masih ingat lagu aneh karangan kami (saya, Fadhillah Ridhayanti , Nurul Insani , dan Nur Alfahita ) yang liriknya “SMA SMA sekolahku namanya SMA”

Ya rumah tempat tinggal kami bertetangga dekat dengan SMA 1 Pangkajene tempat Bapak mengajar di sana.

Sekolah itu bukan hanya sekedar tempat Bapak bekerja tetapi hampir semua kegiatan keluarga kami selalu berkaitan dengan sekolah itu.

Di lokasi yang tidak begitu jauh juga ada pesantren yang waktu itu bernama Pesantren 3 Dimensi.

Yang menarik dari pesantren itu dan tidak dimiliki di SMA 1 adalah kelompok Marching Band nya. Saya sangat excited setiap menonton mereka berlatih atau pawai dengan seragamnya yang menarik dan alat musik yang banyak.

Ada banyak kenangan masa kecil saya di rumah dan lingkungan sawah itu. Meniti titian kecil yang menegangkan saat berangkat ke sekolah, menangkap capung, mengumpulkan bunga-bunga dan tumbuhan yang bentuknya lucu-lucu.

Bersekolah, mengaji, dan bermain sepanjang sore, lalu pulang menjelang maghrib. Semua itu terasa sangat menyenangkan.

Rumah dan lingkungan tempat tinggal masa kecil saya sangat sederhana, bahkan mungkin bisa dikata kumuh.

Tapi di rumah yang super sederhana itu, ada banyak kebahagiaan yang hadir di sana. Rasa bahagia yang berubah jadi sedih kala mengenangnya.

Thor: Love and Thunder – Film Action Rasa Drakor

Selang beberapa bulan setelah penayangan Dr Strange yang mengusung tema “The Power of Emak-Emak” dan menyisipkan quote super romantis “I love you in every universe”, kali ini Marvel menayangkan Thor: The Love and Thunder yang mengusung tema anti religius dan CLBK 😅

Well, film Marvel kali ini kayak sinetron religi bercampur Drakor sih 🤭


Saya menonton Thor: Love and Thunder benar-benar dalam keadaan seperti “kertas putih yang kosong”. Gak pernah nonton trailer, gak pernah baca review-nya, bahkan lihat posternya pun kagak.

Tujuannya biar gak under expectation atau malah over expectation. Dan apparently, it works 😁 Saya bisa menikmati film ini dengan hati yang legowo.

Lantaran zero information itu, saya jadi terkezut dengan sosok bapak2 yang sepertinya familiar di awal scene: Christian Bale! My gosh 😱

Tak dinyana, Bale berpaling dari DC Comics ke Marvel 🤭 sebagai villain pula!


But well, seorang Bale pastinya gak melewatkan karakter yang menuntut kepiawaian akting seperti Gorr The God Butcher ini. Kehadirannya di film ini very mantul banget 😁👍

Seperti halnya film-film Thor lain, Thor: Love and Thunder juga disajikan dengan delivery yang santai dan menghibur.

Apalagi dikombinasi dengan Guardian Galaxy yang juga kotjak (walau kehadirannya gak penting), hasilnya film ini menjadi tontonan yang benar-benar cocok untuk melepas stres.

Peran Korg sebagai narator di film ini juga sukses memberikan nuansa yang berbeda. Serasa lagi dibacain dongeng.

Di samping itu, ada juga bumbu-bumbu romansa yang terjalin antara Thor dan cinta sejatinya Mbak Jane Foster yang ujug2 ikutan jadi Thor.

Awalnya gue kira doi jadi variant-nya Thor, tapi sepertinya beda ya. (Gak paham juga sih 🤧😅)

Di umur yang bisa dibilang tak lagi muda, Natalie Portman tetap tampil cantik dan menawan.

Meskipun saya gak begitu sreg dengan lengannya yang berotot. Kurang cocok dengan Mbak Natalie yang imut 😅


Natalie masih tetap layak disandingkan dengan Chris Hemsworth yang seksi bohay dan mereka juga dapat chemistry-nya sebagai sepasang kekasih di film ini. Good job lah ya.

Meskipun di scene tertentu gue kayak merasa sepertinya Mbak Natalie lebih pas dengan Mas Christian. Apa sih, jodoh2in dengan second lead😅

But overall, sisipan kisah romantis yang disuguhkan di film ini lumayan bikin heartwarming 😁👍 (seperti nonton drama Korea).

Sebenarnya, saya berharap di sini ada Loki biar lebih seru gitu. Tapi yo wes rapopo lah. Sepertinya Mas Loki masih sibuk dengan petualangannya di dimensi waktu (di serial sebelah).

Dari segi sinematografi, grafis film ini sangat memanjakan mata. Pemilihan tone warna dan sudut gambarnya membuat film ini terasa meriah.

Scoring musiknya secara umum menarik meskipun masih kurang mencekam saat mengiringi karakter Gorr The God Butcher (mungkin karena dirating PG jadi dibuat seperti itu. Entahlah)

Namun, suguhan lagu Sweet Child O’ Mine yang memorable membuat sejumlah fight scene di film ini menjadi lebih keren.

Pas intro lagu ini muncul seperti ada yang bisikin “yang tahu lagu ini berarti dia udah tua” hiks 🤧

Secara umum, film ini terasa digarap dan dipersiapkan dengan baik. Gak asal bikin. Sayangnya, premisnya terlalu biasa dan plot yang disuguhkan gampang ketebak.

Unsur kejutannya gak banyak bahkan bisa dibilang kagak ada. (kecuali kehadiran Matt Damon sebagai Loki kw 😅)

But overall, film ini worth to watch dan gak bikin nyesel. 😊👍

Meskipun dirating 13+ tapi menurut saya tetap belum recommended untuk anak ABG ala Indonesia sih. (Karena ada beberapa adegan kisseu nya)

Sepanjang Juli masih tayang di bioskop tapi dalam beberapa bulan ke depan akan tayang juga di aplikasi streaming Disney+ Hotstar sebagai channel official Marvel.

The Sound of Magic (review suka-suka)

“Apakah kamu percaya pada sulap? Annara sumanara”

Rasanya gak banyak drakor yang mengangkat cerita tentang seorang pesulap, jadi begitu melihat trailernya, saya langsung memutuskan untuk menonton drakor yang satu ini.

Apalagi selama beberapa minggu drakor orisinil Netflix ini betah di ranking No.1 series yang paling banyak ditonton. Tentunya ada alasan kenapa ia banyak diminati.

Ditambah lagi, jumlah episodenya yang cuma 6 biji cocoklah buat saya yang cepat bosan dan gak sabaran.

Jujurly, ini drakor musikal pertama yang saya temui (tentu saja ada yang lain tapi saya gak tahu)

Saya sendiri suka menonton drama musikal meskipun gak demen2 amat. Tapi buat teman2 yang kurang suka bisa saja akan sedikit terganggu dengan para tokohnya yang tiba-tiba menyanyi di tengah2 cerita.

The Sound of Magic berkisah tentang seorang gadis remaja miskin yang bertemu dengan seorang pesulap nyentrik di wahana bermain yang sudah terbengkalai.

Dari premis ini saja sudah membuat saya tertarik. Apalagi si pesulap diperankan dengan sangat pas oleh Ji Chang Wook.

Ji Chang Wook sebagai Pesulap Misterius

Meskipun di beberapa part saya sempat menduga drakor ini bakal meniru The Prestige-nya Christopher Nolan tapi ternyata dugaan saya salah. Ia tetap hadir dengan cerita yang orisinil.

Dari segi casting, pemilihan aktor dan aktrisnya sangat pas dengan karakter yang mereka mainkan.

Di drakor ini, lagi2 Hwang In Yeop jadi anak SMA. Somehow, doi cocok banget meranin anak ABG padahal umurnya sudah kepala 3.

Na Il Deung singing to Ah Yi

Sayangnya, akting female lead-nya menurut saya biasa saja. Masih terasa kesannya kalau Doppelganger-nya Zara JKT48 ini adalah pendatang baru.
Yaah, itu menurut saya sih, orang lain tentu punya pendapat yang beda.

Overall drakor yang diangkat dari Webtoon ini menarik dan cukup menghibur. Di sejumlah part sangat terasa nuansa komiknya.

Lalu, seperti serial orisinil Netflix sebelumnya, Squid Game, drakor ini juga banyak menyisipkan pesan moral dan kritik sosial.

Beberapa potongan narasi yang saya suka yaitu:

“Sebenarnya tidak ada orang gila di dunia ini. Yang ada hanyalah orang yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat”

“Bunga tidak tumbuh di jalanan beraspal melainkan di tanah yang tidak rata”

Meskipun ada beberapa moral of story yang kurang saya sepakati tapi secara umum kritikan yang disampaikan memang cukup menggugah.

Drakor ini menyebut dirinya bergenre fantasi musikal meskipun menurut saya gak fantasi2 amat, melainkan lebih ke teatrikal.

Buat yang suka genre seperti itu sepertinya bakal menikmati drakor ini.

Tapi buat yang lebih suka drama yang realistis, drakor ini tetap layak ditonton.

Penonton bisa menikmati nuansa emosi yang lumayan komplit. Meskipun unsur komedinya kurang, tapi di sini ada menegangkannya, ada sedihnya, dan juga ada manis-manis romantisnya 😊

*Tayang di Netflix

Soundtrack #1 : Simple but Beautiful

Beberapa waktu lalu nonton drakor ini. Sangat recommended buat yang mau nonton drakor romantis tapi gak kuat ikuti semua episodenya.

Soundtrack #1 ini cuma 4 episode, tiap episode durasinya 35 sampai 45 menit sahaja. Dinonton satu kali duduk juga bisa kelar 🤭

Ceritanya padat, simpel, dan gak bertele2. Alur ceritanya enak diikuti. Grafisnya memanjakan mata. Cewek dan cowoknya cakep2. Aktingnya bagus2. Chemistry nya juga dapat.

Yang main Han So Hee (pelakor cantik kesayangan kita semua 🤧) dan Park Hyung Sik (Strong Girl Bong Soon, Happiness)

Kalau saya sih gak nyesel nonton Soundtrack #1 ini. Apalagi setelah patah hati dari drakor 2521🤧, drakor ini cocoklah untuk meng-healing duka lara. Wkwkwk 😁

* Tayang di Disney+ Hotstar (dan channel Telegram bajakan favorit Anda 🤭🤭)

Soundtrack #1 Official Poster