Gaya kampanye Desak Anies sangat revolusioner. Membuka ruang diskusi dengan masyarakat dari berbagai kalangan adalah tindakan Anies Baswedan yang sangat layak diapresiasi.
Belum lagi acara live streaming di medsos yang membuka ruang keterbukaan bagi siapapun yang ingin bertanya langsung kepada sang Capres.
Saya menilai gaya kampanye dua arah seperti ini adalah sebuah terobosan yang dapat mencerdaskan dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap esensi demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Sayangnya, saya masih belum yakin apakah gaya kampanye tersebut akan efektif bagi semua kalangan. Terutama bagi masyarakat yang lebih senang diberi uang daripada diberi ilmu. Lebih senang diajak makan siang gratis daripada diajak ngobrol.
Anies tidak menganut gaya kampanye money politic, seperti bagi2 duit, bagi2 sembako, bagi2 kaos, ataupun bagi2 susu.
Namun tidak dipungkiri, banyak masyarakat yang lebih menyukai gaya kampanye money politic. Sebab manfaat instan bisa langsung mereka rasakan, daripada kampanye style diskusi yang dianggap hanya sekedar kata-kata. Omon-omon-omon.
Menyedihkan, tapi begitulah kenyataannya, bahwa masyarakat Indonesia kebanyakan sangat materialistis, dan juga bermental tangan di bawah.
Mental ini sepertinya sudah terbentuk sejak lama. Dan hal ini tidak terlepas dari sejarah bangsa Indonesia.
Umur demokrasi di Indonesia masih 79 tahun. Jika dibandingkan dengan masa kolonialisme yang berlangsung ratusan tahun dan masa kerajaan yang berusia ribuan tahun, usia demokrasi di Indonesia masih seperti bayi yang baru lahir.
Sistem demokrasi hadir dengan kaidah utama “Suara rakyat adalah suara tuhan”. Betapa tinggi demokrasi menempatkan posisi rakyat dalam sebuah negara. Namun sayangnya, rakyat Indonesia belum terbiasa menjadi “tuhan”. Sebagaimana bayi yang baru lahir, kita masih harus belajar menjadi “tuhan”.
Kebanyakan masyarakat Indonesia masih terbiasa memposisikan dirinya sebagai rakyat jelata dan hamba sahaya bagi pemerintah. Menganggap bahwa rakyatlah yang wajib melayani pejabat2 negara. Bila ingin dibantu, mereka harus mengemis2 kepada penguasa. Bila pejabat negara memberi bantuan, itu karena kebaikan hati pejabat tersebut, bukan hak yang selayaknya mereka miliki.
Kemiskinan materi dan kemiskinan mental di masyarakat Indonesia sepertinya terus dipelihara, agar masyarakat terkaburkan posisinya sebagai “tuhan”, sementara pejabat negara bisa terus menjadi “raja”.
Sayangnya, situasi ini berlanjut ke generasi berikutnya. Pendidikan kepada anak2 muda rupanya belum cukup menyingkirkan mental “tangan di bawah”.
Sebab rupanya, banyak kalangan gen Z dan milennial yang lebih senang berleha2 dan bersantai daripada bekerja.
Cobalah ditanya, kalau disuruh memilih antara dikasih pekerjaan atau dikasih bantuan cuma-cuma tanpa harus bekerja, saya rasa masih lebih banyak orang yang akan memilih bantuan cuma-cuma daripada bekerja.
Kaidah yang menyatakan “lebih baik diberi kail daripada diberi ikan” sepertinya tidak berlaku di Indonesia. Sebab lebih banyak yang senang bila diberi ikan yang bisa langsung mereka santap pada hari itu. Walaupun besok dia harus meminta ikan lagi.
Terbukti di jaman sekarang, bukan hanya mencari lowongan kerja yang susah, tapi mencari orang yang mau bekerja juga tidak kalah susahnya.
Sebagian anak muda lebih suka menjadi pengemis atau profesi instan money lainnya daripada harus capek-capek berusaha, belajar, dan mengembangkan skill.
Tulisan ini bukan bermaksud untuk menyalahkan gaya kampanye yang diterapkan oleh Anies, saya mengapresiasi upaya beliau dalam membuat perubahan di masyarakat sejak dari masa kampanye.
Dalam penilaian saya, dibanding 2 calon lainnya, beliaulah putra bangsa yang paling kompeten untuk menduduki posisi puncak pemerintahan. Beliau pula yang paling siap memimpin 200 juta lebih rakyat Indonesia.
Hanya saja, saya belum yakin apakah rakyat Indonesia sudah siap dipimpin oleh beliau atau tidak.
Namun semoga saja dugaan saya salah, semoga rakyat Indonesia sudah lebih cerdas menggunakan “suara tuhannya” di pilpres kali ini.